PEMBELAJARAN PROSES
HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN “ Pendidikan adalah memberi akan usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar lebih baik dimana dalam proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan diri potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan Misi fisi Fisik spiritual keagamaan, untuk dapat pengendalian
diri dalam dirinya, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dalam dirinya, untuk masyarakat, bangsa dan negara.”
Sehubungan
dengan tujuan pendidikan sebagaimana terungkap di atas yakni untuk
mengembangkan potensi proses pembelajaran dan mendidik, sikap dan keterampilan
peserta didik maka pendidik/tenaga kependidikan memikul tanggung jawab
penuh untuk membimbing, mengajar dan melatih para Siswa siswa pendidikan dasar atas
dasar norma-norma yang berlaku baik norma agama, adat, hukum, ilmu dan
kebiasaan-kebiasaan yang baik. Untuk mewujudkan tujuan itu perlu ditanamkan
sikap disiplin, tanggung jawab, berani mawas diri, beriman dan lain-lain.
Hukuman pun sering diterima para siswa manakala mereka melanggar tata
tertib yang telah disepakati. Hukuman itu dimaksudkan sebagai upaya
mendisiplinkan siswa terhadap peraturan yang berlaku dalam latihan. Sebab,
dengan sadar pendidik memegang prinsip bahwa disiplin itu merupakan kunci sukses
hari depan. Apakah bentuk-bentuk hukuman bisa dikembangkan untuk mendisiplinkan
siswa siswa diksar Pertanyaan seperti inilah menjadi dilema bagi kaum
pendidik dalam mengemban kewajiban dan tanggung jawabnya.
Apabila sanksi
hukuman sama sekali tidak diadakan niscaya perilaku siswa
akan lebih semrawut seenaknya semaunya. Kita bisa menduga-duga, ada
penerapan hukuman saja bagi siswa yang melanggar masih banyak, apalagi jika
sanksi hukuman ditiadakan. Tambah ruwet hancur pendidikan. Jika hukuman itu diadakan
menuntut konsekuensi bagi para pendidik dan pembina itu sendiri. Maksudnya,
pendidik pembina harus benar-benar bisa mengawasi sebagai suri tauladan bagi
anak didiknya. Penerapan aturan hukuman bagi para siswa siswa diksar yang
melanggar tetapi tidak diikuti kedisiplinan pendidik, bagaikan halilintar kilat
di waktu siang malam dan kapapanpun, banyak yang menyepelekan.
B. Masalah
Dalam
makalah ini akan dipaparkan beberapa permasalahan yang dikemukakan antara lain:
1. Apa hakikat dari
Hukuman dalam dunia pendidikan?
2. Bagaimanakah pendapat
para Pakar Pendidikan tentang haruskan Hukuman ada dalam dunia pendidikan?
3. Bagaimana jenis-jenis
Hukuman yang harus diterapkan oleh Pendidik kepada anak didiknya?.
C. Tujuan
Makalah
ini bertujuan untuk mengetahui
1. Hakikat dari Hukuman
dalam dunia pendidikan.
2. Pendapat para pakar
Pendidikan tentang haruskah Hukuman ada dalam dunia pendidikan.
3. sepertia apa
jenis-jenis Hukuman yang harus diterapkan oleh Pendidik kepada anak didiknya.
LANDASAN
TEORI DAN PEMBAHASAN
A. Hakikat Hukuman
1. Pengertian
Hukuman
Seperti
telah diketahui bersama bahwa pelaksanaan pendidikan dan pengajaran tidak akan
terlepas dari pada bagaimana cara untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan
dari semula dan/atau bagaimana cara mengajar agar bisa berjalan dengan lancar
berdasarkan metode atau alat yang akan digunakan. Alat pendidikan ialah suatu
tindakan atau situasi yang sengaja diadakan untuk tercapainya suatu tujuan
pendidikan tertentu.
Dalam
menggunakan alat pendidikan ini, pribadi orang yang menggunakannya adalah
sangat penting, sehingga penggunaan alat pendidikan itu bukan sekedar persoalan
teknis belaka, akan tetapi menyangkut persoalan batin atau pribadi anak.
Hukuman sebagai salah satu teknik pengelolaan kelas sebenarnya masih terus
menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi, apa pun alasannya, hukuman sebenarnya
tetap diperlukan dalam keadaan sangat terpaksa, katakanlah semacam pintu
darurat yang suatu saat mungkin diperlukan. Hukuman merupakan alat pendidikan
represif, disebut juga alat pendidikan korektif, yaitu bertujuan untuk
menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang benar dan/atau yang tertib.
Alat
pendidikan represif diadakan bila terjadi suatu perbuatan yang diangap
bertentangan dengan peraturan-peraturan atau suatu perbuatan yang dianggap
melanggar peraturan. Penguatan negatif dan penghapusan sebenarnya bernilai
hukuman juga. Menyajikan stimulus tidak menyenangkan dalam pemakaian teknik
penguatan negatif maupun tidak memberikan penguatan yang diharapkan siswa dalam
teknik penghapusan, pada dasarnya adalah hukuman walaupun tidak langsung. Kalau
penguatan negatif dan penghapusan dapat dikatakan hukuman tidak langsung, maka
yang dimaksud dengan hukuan di sini adalah hukuman langsung, dalam arti dapat
dengan segera menghentikan tingkah laku siswa yang menyimpang.
Dengan
kata lain, hukuman adalah penyajian stimulus tidak menyenangkan untuk
menghilangkan dengan segera tingkah laku siswa yang tidak diharapkan. Yang
termasuk alat pendidikan di antaranya ialah berupa hukuman dan/atau ganjaran
2.
Hakikat adanya Hukuman
Beberapa
definisi hukuman telah dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya:
1. Hukuman adalah
tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga
menimbulkan nestapa, dan dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan
perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya. (Amin
Danien Indrakusuma, 1973:14).
2. Menghukum adalah
memberikan atau mengadakan nestapa/penderitaan dengan sengaja kepada anak yang
menjadi asuhan kita dengan maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasainya
untuk menuju kearah perbaikan. (Suwarno, 1981:115).
3. Perinsip Hukuman
Dalam
memberikan suatu hukuman, para pendidik hendaknya berpedoman kepada perinsip"Punitur,
Quia Peccatum est" artinya dihukum karena telah bersalah,
dan "Punitur, ne Peccatum"artinya dihukum agar
tidak lagi berbuat kesalahan, (M.J. Langeveld, 1995:117). Jika kita mengikuti
dua macam perinsip tersebut, maka akan kita dapatkan dua macam titik pandang,
sebagaiman yang dikemukakan oleh Amin Danien Indrakusuma, (1973:148) yaitu:
1. Titik pandang yang
berpendirian bahwa hukuman itu ialah sebagai akibat dari pelanggaran atau
kesalahan yang diperbuat. Dengan demikian, pandangan ini mempunyai sudut
tinjauan ke belakang, tinjauan kepada masa yang lampau, yaitu pandangan "Punitur,
Quia Peccatum est";
2. Titik pandang yang
berpendirian bahwa hukuman itu adalah sebagai titik tolak untuk mengadakan
perbaikan. Jadi, pandangan ini mempunyai sudut tinjau ke muka atau ke masa yang
akan datang, yaitu pandangan "Punitur, ne Peccatur".
4.
Teori Hukuman
Berdasarkan sudut pandang tersebut di
atas, maka timbullah beberapa teori tentang hukuman, di antaranya ialah:
a.
Teori Hukum Alam
1. Teori hukum alam ini dikemukakan oleh
penganjur Pendidikan Alam, yaitu J.J. Rousseau. Rousseau tidak menghendaki
hukuman yang dibuat-buat. Biarkan alam sendiri yang menghukumnya. Yang dimaksud
di sini ialah, bahwa hukuman itu hendaknya merupakan akibat yang sewajarnya
dari suatu perbuatan, hukuman harus merupakan sesuatu yang natuur menurut
hukum-hukum alam, sesuatu akibat logis yang tidak dibuat-buat. Misalnya, anak
yang senang memanjat pohon, adalah wajar dan logis apabila suatu ketika ia
jatuh. Jatuh ini adalah merupakan suatu hukuman menurut alam sebagai akibat
dari perbuatanya dari senang memanjat pohon (Amin Danien Indrakusuma,
1973:148);
2. J.J. Rousseau dengan aliran negativisme
dalam pendidikan, berpendapat bahwa pendidikan bagi anak manusia tak berguna.
Semua pembawaan anak adalah baik. Ia membiarkan anak berkembang sendiri dan
menyerahkannya kepada alam. Kalau anak berbuat salah, biarlah alam yang
menghukumnya, anak akan menderita sebagai akibatnya. Hukuman semacam ini
dinamai hukum alam.
Contoh, anak bermain dengan air panas dan akhirnya tersiramlah kakinya. Anak
dibiarkan merasakan kakinya sakit, hukuman lain tidak ada baginya. Dari hukuman
alam tersebut, anak akan menerima pendidikan dan berusaha tidak menjalankan
permainan yang berbahaya itu lagi, atau ia meneruskannya akan tetapi ia
berusaha mengelak. (Ag. Soejono, 1980:165)
b.
Teori Ganti Rugi
1. Dalam hal ini, anak
diminta untuk bertanggung jawab atau menanggung resiko dari perbuatannya,
misalnya anak yang mengotorkan atau merobekkan buku milik kawannya, maka harus
menggantinya. Anak yang berkejar-kejaran di kelas, kemudian memecahkan jendela,
maka ia harus mengganti kaca jendela itu dengan kaca yang baru (Amin Danien
Indrakusuma, 1973:149);
2. Teori ganti rugi, di
mana anak harus mengganti kerugian akibat perbuatannya yang salah, misalnya
anak memecahkan kaca jendela tetangga, maka ia harus mengganti dengan uang
tabungannya (Soewarnoa, 1992:115).
c.
Teori Menakut-Nakuti
1. Hukuman yang
diberikan untuk menakut-nakuti anak agar anak tidak melakukan pelanggaran atau
perbuatan yang dilarang, dalam hal ini nilai didik itu telah ada, hanya saja
perlu diperhatikan bahwa hal ini harus dijaga jangan sampai anak itu tidak
berbuat kesalahan lagi hanya karena rasa takut saja, melainkan tidak berbuat
kesalahan lagi karena adanya kesadaran, sebab apabila tidak berbuat kesalahan
itu karena hanya takut, takut kepada bapak atau ibu guru. Maka jika tidak ada
bapak atau ibu guru, kemungkinan besar ia akan mengulang kembali perbuatannya.
Ia akan mengulangi perbuatannya secara sembunyi-sembunyi. Jika terjadi
demikian, maka dapat dikatakan bahwa nilai didik dari hukuman tersebut sangat
minim sekali. (Amin Danien Indrakusuma, 1973:115);
2. Soewarno (1992:115),
mengemukakan bahwa teori menakutkan ialah memberi hukuman supaya menimbulkan
rasa takut pada anak;
3. Sedangkan pendapat
Ag. Soejono (1980:164), bahwa teori ini bertujuan menimbulkan rasa takut kepada
orang lain. Biasanya hukuman dilaksanakan di muka umum. Pelanggaran kedua
kalinya dihukum lebih berat, sebab perulangan pelanggaran berarti jeranya
pelanggar. Begitulah hukuman makin lama makin berat, agar orang lain menjadi
lebih takut. Fungsi hukuman dengan teori hukuman menakuti ini terhadap orang
lain juga preventif.
d.
Teori Balas Dendam
Amin
Danien Indrakusuma (1973:150), mengemukakan bahwa macam hukuman yang paling
jelek, yang paling jahat dan paling tidak dipertanggung jawabkan dalam dunia
pendidikan ialah hukuman yang didasarkan kepada rasa sentimen.
Sentimen ini dapat ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan (frustasi) yang
dialami oleh guru, baik mengenai hubungannya dengan orang-orang lain, maupun
hubungannya dengan para siswa secara langsung. Misalnya, karena seorang guru
merasa dikecewakan dalam hal cinta oleh seorang gadis atau pemuda, maka ia
melempiaskan kekecewaannya itu kepada para siswanya. Bagi guru muda, tidak
terkecuali pria atau wanita, mungkin merasa bahwa seorang siswa telah dianggap
sebagai saingan atau penghalang dari maksud-maksudnya, maka ia berusaha mencari
kesempatan untuk setiap saat akan menghukum-nya atau menjatuhkannya.
e. Teori Memperbaiki
1. Satu-satunya hukuman
yang dapat diterima oleh dunia pendidikan ialah hukuman yang bersifat
memperbaiki, hukuman yang bisa menyadarkan anak kepada keinsafan atas kesalahan
yang telah diperbuatnya. Dan dengan adanya keinsafan ini, anak akan berjanji di
dalam hatinya sendiri tidak akan mengulangi kesalahannya kembali. Hukuman yang
demikian inilah yang dikehendaki oleh dunia pendidikan. Hukuman yang bersifat
memperbaiki ini disebut juga hukuman yang bernilai didik atau hukuman
pedagogis. (Amin Danien Indrakusuma, 1973:151);
2. Teori inilah yang
harus kita gunakan sebagai pendidik, maksudnya untuk memperbaiki perbuatan anak
yang buruk/salah. (Suwarno, 1992:115);
3. Teori ini bertujuan
untuk memperbaiki. Adapun yang perlu diperbaiki ialah hubungan antara pemegang
kekuaaan dan pelanggar dan sikap serta perbuatan pelanggar. Hubungan antara
penguasa dengan umum yang tadinya telah menjadi rusak dengan terjadinya pelanggaran
oleh orang yang bersikap dan berbuat salah itu perlu dibetulkan lagi. Rusaknya
hubungan itu mengakibatkan hilangnya kepercayaan penguasa terhadap pelanggar.
Fungsi hukuman dengan teori membetulkan ini korektif dan edukatif.
Di
dalam dunia pendidikan, pendidik tidak menganut teori lain dari pada teori
pembetulan. Hal ini sesuai dengan tugas pendidik, yaitu membimbing anak didik
agar berbuat dan bersikap luhur. Tidak pada tempatnya pendidik menakut-nakuti
dan membalas dendam anak didiknya. Anak didik yang takut pada pendidiknya
menutup diri baginya dan tidak bersedia menerima petunjuk. Pendidik yang
membalas dendam anak didiknya menganggap anak didiknya sebagai musuh, bukan
sebagai anak asuhannya. (Ag. Seojono, 1980:165).
Amin
Danien Indrakusuma (1973,148) mengutarakan contoh hukuman paedagogis misalnya
anak yang melanggar tata tertib dapat dihukum dengan cara pembiasan,
pengawasan, penyadaran yang diarahkan pada pembentukan diri sendiri.
f. Teori Melindungi
Teori
melindungi, anak dihukum untuk melindungi lingkungan atau masyarakat terhadap
perbuatan-perbuatan salah yang merusak/ merugikan lingkungan tersebut.
(Suwarno, 1992:115).
g. Teori Menjerakan
Teori
ini bertujuan agar pelanggar sesudah menjalankan hukumannya akan jera dan tidak
akan menjalankan pelanggaran lagi. Fungsi hukuman tersebut adalah preventif,
yaitu mencegah terulangnya pelanggaran sesudah pelanggar dikenai hukuman.
B. Menurut Para Pakar
Pendidikan Tentang Hukuman
1. Para Ahli yang
Kontra Hukuman dalam Pendidikan
A.L
Gary Gore dalam Suwarno (1992) salah seorang tokoh yang kontra terhadap hukuman
badan mengatakan,
"Anak-anak
tidak boleh dididik dengan ketakutan. Janganlah dibina dengan paksaan-paksaan
yang tidak mereka pahami. Seorang pendidik yang ingin memaksakan kehendaknya kepada
anak-anak, secara tidak sadar sedang mengajarkan bahwa kebenaran itu (harus
dilakukan) dengan paksaan. Efek negatif lain dari kekerasan yang diterima
anak-anak adalah anak-anak tidak melakukan pelanggaran karena takut akan
pukulan (bukan lahir dari kesadaran mereka-peny.), sementara sifat buruknya
tetap bersemayam di dalam dirinya. Pukulan tidak membawa kebaikan sama sekali
bahkan merugikan. Rasa sakit itu akan masuk dalam memorinya. Masih ada orangtua
yang sampai sekarang berpikiran bahwa anak-anak harus belajar sesuatu dengan
pukulan, padahal anak-anak yang sering menerima kedisiplinan yang keras
tersebut sebenarnya berusaha memerankan anak yang baik di depan mata
orangtuanya, sementara jiwanya membelakangi mereka."
Orangtua
harus paham bahwa secara lahiriah hukuman fisik itu memang berhasil tapi pada
hakikatnya orangtua akan merasakan berbagai kegagalan. Di depan orangtua
anak-anak yang nakal itu bisa diselesaikan dengan hukuman fisik, tapi karena
mereka memiliki tabiat yang buruk maka kenakalan mereka tetap tidak bisa
dihentikan. Jika seorang anak menghentikan kebiasaan buruknya karena
mendapatkan hukuman fisik, berarti si orangtua berhasil menanamkan rasa jera
kepada si anak, namun keberhasilan ini harus ditebus dengan efek negatif lain
yang tidak kurang buruknya, yaitu anak-anak yang dihukum secara fisik tersebut
akan menderita ketakutan, atau memiliki sifat pengecut.
Selain
itu perlu dicamkan dalam benak orangtua bahwa hukuman fisik itu bisa mengganggu
sistem saraf anak-anak. Dalam kebanyakan kasus hukuman fisik itu selalu merusak
saraf. Hukuman fisik juga kalau terus-terusan akan menimbulkan gejala mental
yang tidak sehat.
Mendisiplinkan
anak dengan hukuman fisik memang akan membuat anak tersebut menjadi patuh tapi
bagaimana dewasanya kelak? Anak-anak yang lemah akan berubah menjadi anak-anak
pemurung, apatis, minder dan penakut sementara anak-anak yang bengal akan
tumbuh menjadi anak yang keras kepala. Di samping itu, efek buruk lain bagi
kedua jenis anak tersebut adalah mereka menjadi terlatih untuk menjadi
pendendam, pembohong dan penipu, hingga lenyaplah dunia anak-anak mereka yang
polos, lucu dan ceria.
Sang
pakar tersebut menambahkan,
"Semenjak
kecil anak-anak ingin mengetahui segala hal yang ada di sekelilingnya. Kalau
bisa mereka ingin melihat segala hal dan menyentuh benda-benda yang dilihatnya.
Anak-anak yang sehat biasanya sangat aktif dan suka merusak benda-benda yang
dipegangnya. Dan kadang-kadang anak-anak itu suka melakukan hal-hal yang
membahayakan dirinya dan orang lain. Tapi meskipun dengan segala macam
kenakalannya itu, orangtua tidak menganggap anak itu memiliki tabiat yang
buruk. Anak-anak itu aktif karena ingin melakukan sesuatu atau untuk
menunjukkan jati diri. Sikap si anak ini bukan hanya tidak boleh ditekan,
tetapi harus dibantu agar semakin aktif. Karena kalau ditekan, otak si anak
akan menjadi lambat dan perkembangan mental serta motorik si anak akan
terhambat. Anak-anak harus dibiarkan mengekspresikan keinginan-keinginannya
tapi bukan berarti dibiarkan melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya. Jika
anak balita ingin menyentuh sesuatu yang berbahaya kita bisa menggantikannya
dengan benda yang lebih aman bagi dirinya.
Anak-anak
yang menerima hukuman fisik biasanya akan diam sambil menangis dan berjanji
akan mematuhi orangtuanya dan orangtua biasanya akan merasa senang karena (dia
menyangka) anaknya berhasil dididik dengan cara demikian. Namun dalam
kebanyakan kasus keberhasilan itu harus ditebus dengan kegagalan yang pahit.
Sangat jarang sekali hukuman itu berhasil menanamkan kesadaran kepada diri
anak. Meskipun hukuman fisik itu diterapkan secara bertahap, tetap saja di
dalam diri si anak akan muncul sikap-sikap negatif terhadap suasana dan
lingkungannya. Ia akan menunjukkan sikap tidak suka dan tidak lagi berselera
untuk mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dan pada sebagian besar
anak berkembang sifat-sifat negatif seperti penakut, pemurung dan minder,
memang tidak kelihatan secara langsung karena ia menyimpannya di dalam
dirinya.".
Untuk
mendidik anak-anak yang masih kecil, usahakanlah terlebih dahulu agar anak-anak
itu memahami keinginan orang dewasa, mempercayainya dan tidak keberatan
mematuhi perintah-perintahnya. Kalau tidak demikian jangan menyuruh mereka
secara paksa. Artinya orangtua atau guru pendidik sangat diharapkan untuk
menghargai perasaan dan pikiran anak-anak.
Hukuman
model ini sebagai bagian dari proses pembinaan anak-anak ditolak secara mutlak
oleh pakar ini. Hukuman apapun, menurutnya, tidak efektif dan juga sangat
beresiko apalagi hukuman fisik.
Di
antara argumentasi yang disodorkan oleh kelompok yang kontra adalah bahwa
anak-anak kecil itu tidak memahami konsep salah dan benar dan juga tidak
bermaksud melakukan hal yang salah, tetapi ini bisa dijawab bahwa, Hukuman itu
baru diberikan kalau anak sudah diberi penjelasan dan pada saat metode lain
untuk menghentikan perbuatan buruk si anak tidak efektif lagi.
Anak-anak
juga pada akhirnya harus diajarkan mana perbuatan yang baik dan yang buruk.
Mereka harus mengerti perilaku apa saja yang bisa diterima oleh orangtuanya dan
orang lain sebab ia akan berinteraksi kelak dengan mereka. Dan hukuman itu
membuat mereka mengetahui apa saja yang bisa mereka lakukan dan apa yang tidak
boleh ketika ada di tengah-tengah masyarakat.
Hukuman
itu untuk menyadarkan bukan untuk melakukan pembalasan. Hukuman itu agar
anak-anak menyadari kekeliruan mereka dan agar tidak mengulangi perbuatan
jeleknya, bukan untuk melakukan balas dendam. Hukuman dalam pendidikan jangan
dikelirukan dengan balas dendam.
Jean
Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan
sebagainya berakar dari hukuman-hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima
oleh anak-anak dari orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus
dihapus sama sekali agar penderitaan umat manusia ini bisa sirna."
Tetapi
argumentasi beliau ini bisa dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim
dan belum tentu bisa dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya kita
terima pernyataan seperti itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari
hukuman-hukuman keras yang diterima dari orangtuanya, maka akarnya adalah
terlalu kerasnya hukuman tersebut dan bukan hukuman itu. Hukuman ekstrim itulah
yang menjadi sumber penderitaan umat manusia.
Russel
menambahkan, "Hukuman fisik yang ringan memang tidak begitu berbahaya,
tapi tetap saja tidak ada gunanya dalam pendidikan. Hukuman seperti itu baru
efektif kalau bisa menyadarkan si anak. Sementara hukuman fisik seperti itu
biasanya tidak bisa membuat jera. Hukuman fisik itu membuat si anak merasa
terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri."
Jawabannya
bahwa anak-anak akan menyadari kekeliruannya melalui hukuman itu, dan kemudian
dia akan lebih mengerti bahwa perbuatannya tidak disenangi orang lain dan
karena ia ingin diterima oleh orang lain, ia akan berusaha menyesuaikan
keinginannya dengan keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan bantuan atau
memperoleh apa yang diinginkannya dari orang lain. Dengan demikian, hukuman
fisik yang ringan pun masih ada gunanya jika diberikan dengan kadar dan waktu
yang tepat.
Argumen
lain yang disodorkan oleh kelompok penentang adalah bahwa pendidikan yang
dijalankan dengan menanamkan rasa takut kepada si anak, akan membuat si anak
seperti robot yang harus mengikuti suatu perintah. Proses pendidikan seperti
itu sangat membahayakan perkembangan jiwa si anak, karena akan melahirkan
anak-anak yang bermental budak yang harus tunduk terhadap segala perintah.
Hal
ini masih bisa dibantah dengan kenyataan bahwa memang anak-anak tidak boleh
dididik dengan sistem perbudakan, tapi tidak semua hukuman itu akan melahirkan
kondisi demikian. Kalau hukuman itu dijalankan dengan benar dan dengan
memperhatikan seluruh syarat-syaratnya maka tidak akan lahir anak-anak seperti
itu.
Seorang
anak yang terus-menerus melakukan perbuatan yang buruk padahal sudah sering
kali diperingatkan agar tidak melakukan perbuatan tersebut mau tidak mau harus
dihentikan dengan hukuman, sebab kalau kebiasaan buruknya tidak segera
dihentikan, maka sang anak malah akan semakin berani. Tentunya hukuman itu
harus ringan dan mengena kepada sasaran.
Dalih
lain menurut kelompok tersebut bahwa hukuman itu sama sekali tidak mendidik,
sebab hukuman itu tidak menghilangkan motivasi buruknya. Memang ia akan
mengurungkan niatnya karena perasaan takut, tapi di dalam batinnya keinginan
itu tetap ada. Ketika rasa takut itu hilang si anak akan kembali mengulangi
perbuatan buruknya. Pukulan itu mungkin dihadapi oleh si anak dengan pura-pura
berjanji akan menghentikan kebiasaan buruknya. Karena itu patut diingat
statemen mereka bahwa hukuman juga akan melahirkan anak-anak yang asosial,
penakut serta pasif.
Jawabannya:
kami pun menerima pernyataan Anda bahwa hukuman itu tidak menghentikan apa yang
bergetar di dalam batin. Untuk menghentikan kenakalan-kenakalannya kita harus
mempelajari apa sebetulnya yang menjadi latar belakang kenakalan-kenakalannya
dan kita cari solusinya sehingga anak-anak itu tidak mengulangi perbuatan
buruknya. Tetapi jika si anak tetap saja mengulangi perilaku jeleknya, maka
tidak ada cara lain selain memberinya hukuman. Rasa takut akan hukuman itu
dapat menghentikan keinginan atau minimal mengurangi minatnya untuk berbuat
buruk. Kalau hukuman itu diberikan secara proporsional, tidak akan melahirkan
hal-hal yang tidak diharapkan. Memang benar seorang anak harus tumbuh dalam
keceriaan dan kebebasan tapi pada saat yang sama anak-anak juga harus diajari
bahwa di dunia ini tidak semua orang bisa hidup dengan kebebasan mutlak,
apalagi kalau kebebasan itu dapat merugikan orang lain.
2. Para Ahli yang Pro
Hukuman dalam Pendidikan
Sebagian
pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan,
tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam
kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru atau orangtua
masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan
penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu
boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat
mengusik kesadarannya.
Dalam
kaitan ini, Russel menulis, "Saya sendiri secara pribadi ingin mengatakan
bahwa hukuman dalam proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan mungkin
hanya masuk sebagai alternatif kedua."
John
Locke menulis, "Benar bahwa hukuman fisik kadang-kadang diperlukan. Tetapi
harus disadari bahwa tujuan sebuah pendidikan adalah mendidik moral. Yang harus
kita lakukan adalah membuat si anak tersebut merasa malu berbuat nakal dan
bukan malah takut akan hukuman. Hukuman yang terlalu keras melatih anak-anak
menjadi patuh secara lahiriahnya saja."
A.L
Gary Gore menulis, "Ada kalanya orang dewasa harus memberikan hukuman
kepada anak-anak. Misalnya jika anak-anak usia sekolah atau sudah agak dewasa
mengganggu ayah dan ibu mereka yang sedang tidur. Sebelumnya mereka sudah
diperingatkan tapi tetap saja meneruskan kenakalannya, maka anak-anak itu harus
diberi hukuman. Hukuman dalam kasus seperti ini ditujukan untuk melatih
anak-anak memiliki kepekaan terhadap lingkungan, memiliki rasa tanggung jawab
dan kemampuan mengendalikan diri."
Sebaliknya
orangtua selayaknya menggunakan hukuman ini dengan cara dan strategi yang
tepat. Kalau hukuman itu dilaksanakan ketika orangtua dalam puncak kemarahan
dan tanpa pertimbangan terhadap kondisi dan psikologi anak-anak, maka bisa-bisa
hukuman itu akan merusakkan hubungan orangtua dan anak. Si anak akan kehilangan
kepercayaan dan juga akan mendendam. Hukuman asal-asalan terhadap anak karena
tidak mematuhi keinginan orangtua malah akan melukai hatinya. Sehingga timbul
dalam diri si anak keinginan untuk membalas rasa sakit hatinya itu. Sebelum
menjatuhkan hukuman terhadap anak-anak sebaiknya pertimbangkanlah secara
baik-baik dan pelajari manfaat dan mudaratnya secara seksama. Hukuman apa dan
dalam kondisi bagaimana hukuman itu patut diberikan dan tidak patut diberikan
terhadap anak-anak.
Pakar
pendidikan ini ingin mengatakan bahwa hukuman memang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan dalam situasi tertentu
mutlak diperlukan sekali. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali tidak
setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak keberatan dengan
hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat.
Ia
menambahkan, "Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman
yang akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan
siksaan atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya. Hindarilah
hukuman-hukuman seperti memukul, atau menyekap anak di ruangan yang gelap dan
sempit."
C. Jenis-Jenis
Hukuman dalam Pendidikan
Hukuman
itu wajar tetapi hendaknya bersifat mendidik. Maksudnya dengan adanya
hukuman siswa menjadi tahu / faham tentang kesalahan yang dilakukannya, tanpa
merampas “ batas kemanusiaannya.” Dengan kata lain hukuman dari
pendidik kepada peserta didik harus bersifat mendidik. Jadi hukuman harus ada
relasi dengan pengetahuan, pengembangan mental, disiplin, sifat kemanusiaan,
kemandirian dan ketidakragu-raguan. Misalnya hukuman menghafalkan
pembukaan UUD 1945, membuat puisi, menambah jumlah soal PR, membuat cerpen
tentang siswa terhukum dan lain-lain. Pendeknya hukuman itu ada gunanya bagi
pengembangan wawasan, kreativitas, kesadaran siswa yang terhukum. Bukan
sebaliknya seperti yang acap terjadi hukuman hukuman bersifat menjerakan,
menyusahkan dan meninggalkan rasa jengkel, tidak puas dan menambah rasa benci
siswa terhadap pendidiknya ( pemberi hukuman itu )
Tokoh
pendidik Ki Hajar Dewantara mengemukakan pendapatnya bahwa dalam memberikan
hukuman kepada anak didik, seorang pendidik harus memperhatikan 3 macam
aturan.
1. hukuman harus
selaras dengan kesalahan. Misalnya, kesalahannya memecah kaca hukumnya
mengganti kaca yang pecah itu saja. Tidak perlu ada tambahan
tempeleng atau hujatan yang menyakitkan hati. Jika datangnya terlambat 5
menit maka pulangnya ditambah 5 menit. Itu namanya selaras. Bukan
datang terlambat 5 menit kok hukumannya mengintari lapangan sekolah 5 kali
misalnya. Relasi apa yang ada di sini ? Itu namanya hukumn penyiksaan.
2. hukuman harus adil.
Adil harus berdasarkan atas rasa obyektif, tidak memihak salah satu dan
membuang perasaan subyektif. Misalnya siswa yang lain membersihkan
ruangan kelas kok ada siswa yang hanya duduk – duduk sambil
bernyanyi-nyanyi tak ikut bekerja. Maka hukumannya supaya ikut
bekerja sesuai dengan teman-temannya dengan waktu ditambah sama dengan
keterlambatannya tanpa memandang siswa mana yang melakukannya.
3. hukuman harus lekas
dijatuhkan. Hal ini bertujuan agar siswa segera paham hubungan dari
kesalahannya. Pendidik pun harus jelas menunjukkan pelanggaran yang
diperbuat siswa. Dengan harapan siswa segera tahu dan sadar
mempersiapkan perbaikannya. Pendidik tidak diperkenankan asal
memberi hukuman sehingga siswa bingung menanggapinya.
Itulah
wasiat Ki Hajar Dewantara yang dapat digunakan sebagai pedoman dan
pertimbangan para guru / kepala sekolah yang sering mengangkat dirinya
berfungsi ganda. Pertama berfungsi sebagai polisi, kemudian jaksa dan
sekaligus sebagai hakim di sekolahnya. Guru/kepala sekolah
memang mempunyai superioritas yang tinggi terhadap siswanya. Tidak heran
akhirnya bak raja di atas tahta,segala perintah, siswa dipaksa menerima dan
menurut. Kesuperioritasannya boleh lestari asalkan tidak merugikan anak didik.
Hal itulah menuntut pendidik bersifat bijak, sehingga hukuman tak boleh
semena-mena terhadap anak didik.
Dalam
memberikan hukuman hendaknya menggunakan beberapa prinsip sebagai berikut
1. kepercayaan terlebih
dahulu kemudian hukuman. Metode terbaik yang tetap harus diprioritaskan adalah
memberikan kepercayaan kepada anak. Memberikan kepercayaan kepada anak berarti
tidak menyudutkan mereka dengan kesalahan-kesalahannya, tetapi sebaliknya kita
memberikan pengakuan bahwa kita yakin mereka tidak berniat melakukan kesalahan
tersebut, mereka hanya khilaf atau mendapat pengaruh dari luar. Memberikan
komentar-komentar yang mengandung kepercayaan, harus dilakukan terlebih dahulu
ketika anak berbuat kesalahan. Hukuman, baik berupa caci maki, kemarahan maupun
hukuman fisik lain, adalah urutan prioritas akhir setelah dilakukan berbagai
cara halus dan lembut lainnya untuk memberikan pengertian kepada anak.
2. hukuman distandarkan
pada perilaku. Sebagaimana halnya pemberian hadiah yang harus distandarkan pada
perilaku, maka demikian halnya hukuman, bahwa hukuman harus berawal dari
penilaian terhadap perilaku anak, bukan ’pelaku’ nya. Setiap anak bahkan orang
dewasa sekalipun tidak akan pernah mau dicap jelek, meski mereka melakukan
suatu kesalahan.
3. menghukum tanpa
emosi. Kesalahan yang paling sering dilakukan orangtua dan pendidik adalah
ketika mereka menghukum anak disertai dengan emosi kemarahan. Bahkan emosi
kemarahan itulah yang menjadi penyebab timbulnya keinginan untuk menghukum.
Dalam kondisi ini, tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman yang menginginkan
adanya penyadaran agar anak tak lagi melakukan kesalahan, menjadi tak efektif.
Kesalahan lain yang sering dilakukan seorang pendidik ketika menghukum anak
didiknya dengan emosi, adalah selalu disertai nasehat yang panjang lebar dan
terus mengungkit-ungkit kesalahan anak. Dalam kondisi seperti ini sangat tidak
efektif jika digunakan untuk memberikan nasehat panjang lebar, sebab anak dalam
kondisi emosi sedang labil, sehingga yang ia rasakan bukannya nasehat tetapi
kecerewetan dan omelan yang menyakitkan.
4. hukuman sudah
disepakati. Sama seperti metode pemberian hadiah yang harus dimusyawarahkan dan
didiologkan terlebih dahulu, maka begitu pula yang harus dilakukan sebelum
memberikan hukuman. Adalah suatu pantangan memberikan hukuman kepada anak,
dalam keadaan anak tidak menyangka ia akan menerima hukuman, dan ia dalam
kondosi yang tidak siap. Mendialogkan peraturan dan hukuman dengan anak,
memiliki arti yang sangat besar bagi si anak. Selain kesiapan menerima hukuman
ketika melanggar juga suatu pembelajaran untuk menghargai orang lain karena ia
dihargai oleh orang tuanya.